DI SETIAP ADZAN TERSIMPAN RINDU

Suara adzan subuh menggema dari masjid pesantren, memecah kesunyian pagi. Di antara deretan santri yang bergegas menuju tempat wudhu, berdirilah Rafi, santri kelas dua aliyah yang sudah tiga tahun mondok jauh dari rumah. Embun masih menetes di dedaunan, dan udara dingin menusuk kulit, tapi di dada Rafi, ada sesuatu yang jauh lebih hangat — rindu.

Rindu pada ayah yang selalu menepuk bahunya sebelum berangkat sekolah, rindu pada ibu yang setiap pagi menyiapkan sarapan sederhana, rindu pada suara adzan dari surau kecil di kampungnya yang dulu ia dengar bersama keluarga.

Namun kini, adzan itu ia dengar dari menara tinggi pesantren. Dan setiap kali lantunannya terdengar, Rafi tersadar — inilah jalan yang ia pilih. Jalan untuk menuntut ilmu, menempa diri, dan belajar menjadi lebih dekat kepada Allah.

Setelah salat berjamaah, ia duduk di serambi masjid, membuka kitab kuning yang sudah mulai usang di pinggirannya. Di sekitarnya, teman-teman santri bercanda ringan. Ada yang menghafal, ada pula yang setengah mengantuk. Tapi semua tampak damai.

“Raf, nanti sore jangan lupa jadwal piket kebersihan, ya!” seru Hasan, teman sekamarnya. Rafi mengangguk sambil tersenyum. “Siap, Ndre. Kalau lupa, nanti kamu ingetin lagi aja.”

Hari-hari di pondok berjalan begitu sederhana, tapi penuh makna. Tidak ada gawai, tidak ada hiburan dunia luar, tapi di sanalah mereka belajar arti kebersamaan dan ketulusan. Rafi sering menulis surat untuk ibunya — surat yang dikirim lewat pos, dengan tulisan tangan yang rapi.

“Bu, Rafi kangen masakan Ibu. Tapi di sini Rafi bahagia. Setiap adzan, rasanya seperti mendengar panggilan Ibu juga — panggilan untuk terus kuat dan sabar.”

Dan di setiap waktu adzan, Rafi selalu menengadahkan tangan, berdoa dengan lirih:

“Ya Allah, jagalah Ayah dan Ibu di rumah. Jadikan ilmu yang sedang kutuntut ini cahaya untuk mereka.”

Waktu berlalu. Suatu hari, di tengah sore yang teduh, Rafi menerima surat balasan dari ibunya.
Tulisan tangan yang sudah mulai bergetar itu berkata:

“Nak, Ibu juga selalu rindu setiap dengar adzan di kampung. Ibu selalu ingat kamu yang dulu berlari ke masjid waktu kecil. Sekarang kamu sudah jadi santri, Ibu bangga. Jangan lelah belajar, Nak. Rindu ini biarlah menjadi doa.”

Rafi tersenyum, menatap langit yang mulai jingga. Suara adzan ashar pun menggema — lembut, menembus hati.

Dan seperti biasa, ia berdiri, mengambil wudhu, melangkah ke masjid dengan damai. Karena ia tahu, di setiap adzan yang terdengar, selalu ada rindu — dan doa — yang saling bersahutan antara santri dan orang tuanya.